Pepesan Kosong Bahaya Telik Sandi

Kekhawatiran game Pokemon Go digunakan untuk mengumpulkan data intelijen tak berdasar.
Belum sepekan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengomando Korps Bhayangkara, sepucuk kawat rahasia terbit. Isinya melarang seluruh anggota kepolisian bermain Pokemon Go di markas polisi. Pada butir perintah kedua, Tito menyebut game ini berbahaya karena disokong teknologi penanda lokasi. “Apabila rekaman lokasi markas polisi jatuh ke orang yang tak bertanggung jawab, maka dapat disalahgunakan,” ujar Tito dalam surat bertarikh 19 Juli 2016 itu.
Tito bukan pejabat pertama dan satu-satunya yang mengharamkan permainan buatan Niantic itu. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Yuddy Chrisnandi juga melarang pegawai negeri bermain Pokemon Go karena menganggu kerawanan dan kerahasiaan. Tudingan Menteri Pertahanan Ryamizad Ryacudu lebih keras. Ia menduga game ini dipakai intelijen asing untuk memetakan obyek vital di Indonesia.
Pratama Persadha, pendiri Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), membantah dugaan Tito, Yuddy, ataupun Ryamizard. Ia mengungkapkan, kekhawatiran Pokemon Go bisa membahayakan keamanan negara adalah berlebihan. “Ini sekedar permainan yang mengeksploitasi sisi kegembiraan belaka,” ia berujar di Jagakarsa, Rabu pekan ini.
Menurut Pratama, 38 tahun, dirinya tak asal bicara. Ia dan peneliti CISSReC telah membongkar aplikasi ini. Ia menemukan server game berada di California, Amerika Serikat. Memang ada data yang dikirim ke server lewat tautan yang sifatnya berjenjang. Namun informasi itu tak signifikan bila disebut membahayakan keamanan negara.
Sedangkan Pratama juga mendapati besaran data yang dikirimkan pemain Pokemon Go ke server Niantic tak lebih dari 50 kilobit. “Data sebesar itu tak cukup menghasilkan foto berkualitas bagus,” kata mantan pelaksana tugas Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.
Pria yang pernah memimpin tim pengamanan teknologi komunikasi pesawat kepresidenan ini mengatakan kecemasan pemerintah bila intelijen asing memetakan lokasi strategis di Ibu Kota pun sudah terlambat. Seharusnya kegelisahan itu muncul saat mobil Google Street mengitari jalan di Jakarta beberapa tahun lalu dan mendokumentasikan lewat pencitraan tiga dimensi.
Lagi pula, kata Pratama, data yang masuk ke server Pokemon Go tak sebanding dengan kebocoran informasi karena perilaku pejabat pemerintah yang belum sadar dengan keamanan data. Banyak pejabat yang masih mengirim korespondensi bersifat rahasia lewat surat elektronik gratis. Juga menyimpan dokumen di komputasi awan tak berbayar. Fasilitas tersebut memungkinkan pengembang aplikasi mengintip isi percakapan dan dokumen yang tersimpan. “Justru kebocoran rahasia negara terjadi lewat prosedur komunikasi gratisan namun tak aman,” ia menjelaskan.
Ketua Bidang Media Asosiasi Game Indonesia, Robi Baskoro, mengatakan Pokemon Go tak menyerap data yang bersifat penting, rahasia, dan berhubungan dengan telik sandi. Menurut dia, deklarasi awal persetujuan di awal permainan jelas menyatakan bahwa informasi dasar pemain hanya digunakan untuk meningkatkan pengalaman bermain Pokemon Go.
Robi menyatakan media sosial seperti Facebook justru mampu mengumpulkan data dan informasi pengguna lebih detail ketimbang Pokemon Go. Sebab, pengguna Facebook sampai membagikan informasi lokasi, nomor ponsel, hingga data pribadi secara sukarela. “Data yang dikumpulkan dari aplikasi media sosial jauh lebih lengkap daripada tumpukan data dari Pokemon Go,” kata pria 31 tahun ini.
*Koran Tempo, 23 Juli 2016