Pesta itu bernama pesta demokrasi. Di Indonesia bernama Pemilu Serentak 2024, berbiaya Rp 76 triliun. Sebuah pesta yang mahal.
Tapi biaya itu tidak seberapa, karena demi ejawantah rakyat menggunakan suaranya serta melaksanakan hak politiknya secara langsung dan bebas. Selain itu pesta demokrasi–sebagaimana lazimnya sebuah pesta–tidaklah adem ayem. Sebelum berlangsung pun, aneka hingar bingar sudah berkumandang. Termasuk keramaian ini dalam media sosial.
Rupa-rupanya tidak sebatas itu saja, melainkan lebih jauh: perang dalam media sosial. Maka bayangkanlah, ada pesta dalam sebuah perang. Tentu saja ini tragis.
Dalam ketragisan ini justru yang paling dirundung adalah “pihak” penyelenggara pesta demokrasi, dalam hal ini bernama Komisi Pemilih Umum (KPU). Dalam media sosial, KPU demikian banyak mendapatkan serangan siber.
Kepala Lembaga Riset Keamanan dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research/CISSReC) Pratama Persadha mengingatkan bahwa ada ancaman serius atas serangan siber bagi penyelanggara pemilu. Serangan siber yang dapat menyerang KPU dan Bawaslu, antara lain, adalah serangan DDoS, peretasan, hingga serangan malware.
Serangan DDoS bisa membuat website KPU atau Bawaslu tidak dapat diakses publik. Peretasan juga dapat memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab mengakses informasi sensitif, seperti data pemilih atau informasi sensitif pribadi tentang partai politik dan calon anggota legislatif.
Serangan Siber
Menyimak lebih dalam, serangan siber juga tidak berhenti sampai di sini. Juga lebih dalam dan luas sampai kepada ancaman peretasan infrastruktur, kemudian menjalar sampai ke wilayah sosial kultural dengan intensifnya opini publik dieksploitasi dalam media sosial.
Beberapa waktu lalu juga Direktorat Siber Mabes Polri berhasil menangkap WN, 54, pelaku penyebar berita bohong (hoaks) bocornya dan tersettingnya server KPU yang sempat viral di tengah masyarakat. Pelaku ditangkap setelah sebelumnya menyebarkan informasi bahwa server KPU telah bocor dan diatur (setting) angka 57 persen untuk salah satu pasangan calon.
Tidak lupa pula masih segar teringat viral dugaan 105 juta Warga Negara Indonesia (WNI) bocor. Viral dugaan kebocoran data penduduk warga Indonesia dan dijual ke forum online Breached Forums yang diduga berasal dari KPU.
Tapi KPU menyebut kebocoran dan penjualan 105 juta data WNI di sebuah forum online 'Breached Forums' bukan bersumber dari KPU. Hal itu diketahui, setelah dilakukannya pengecekan pada setiap isi elemen data tersebut.
Hal yang tidak bisa diabaikan pula adalah bahwa Bjorka mengeklaim memiliki 105.003.428 juta data penduduk Indonesia dengan detail Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Keluarga, nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, umur, dan lain-lain.
Data pribadi itu dijual seharga US$5 ribu atau setara Rp 7,4 juta (US$1=Rp 14.898,20). Semua data tersebut disimpan dalam file 20GB (uncompressed) atau 4 GB (compressed). Diketahui, Bjorka merupakan akun yang sebelumnya juga membocorkan 1,3 miliar data registrasi kartu SIM dengan kapasitas 87 GB dijual di situs gelap tersebut.
Kendati demikian KPU tidak tinggal diam. Strategi keamanan siber pun diimplementasikan dengan melibatkan Pemerintah, Akademisi, dan Swasta. Kemudian pengamanan siber ini dilakukan pada 4 (empat) dimensi melalui deteksi, proteksi dan prevensi terhadap ancaman dimulai dari aspek teknologi hingga ke manusianya.
Berujung Kekacauan
Terkait keamanan masalah siber, sebenarnya tidak melulu dilimpahkan sebagai urusan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Melainkan, urusan bangsa ini. Dengan begitu semua komponen bangsa punya kepedulian dan respons terhadap (gejala) gangguannya.
Untuk langkah awal, respons ini bisa dilacak bahwa di Indonesia dalam kontetasi politik ada yang menamakan dirinya cyber troops. Pasukan tempur ini adalah akun-akun media sosial yang dibayar untuk memanipulasi publik.
Juga pasukan computational propaganda, yakni pasukan penggunaan algoritma untuk isu-isu yang menjadi concern public.
Sejumlah analis menilai bahwa Pemilu 2024, sejumlah pasukan tersebut bakal demikian banyak digunakan. Daya rusak dari penyerangan mereka ini, sangat mengerikan antara lain terjadi disinformasi yang berujung kekacuan.
Tanggungjawab Kita
Era kini adalah era informasi yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Seiring dengan ini teknologi informasi terhadap tahapan pemilu, diarahkan dan dimaksudkan untuk mempermudah kerja KPU. Maka mustahil KPU yang ada dalam era informasi di negara besar dan modern bernama Indonesia –tidak menggunakan teknologi informasi.
Hal itu ternyata tidak sesederhana melihat germis pagi hari, melainkan KPU menggunakan teknologi informasi bersamaan pula sejumlah kompleksitas menyertai.
Dalam kerja kolosal dengan tanggung jawab berat, kompleksitas keamanan siber dengan begitu meniscayakan.
Maka menyerap teknologi informasi lalu menerapkannya, harus dipastikan keamanannya. Semua ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kepercayaan peserta dan publik terhadap hasil-hasil pemilu.
Dengan demikian bahwa pesta demokrasi adalah tanggungjawab kita semua, maka semua itu harus diantisipasi. Terlebih untuk KPU agar tanggap dan lihai mengantisipasinya menghalau informasi hoaks.
KPU perlu mendorong kerja sama dengan media agar ketika terdapat isu-isu berkaitan dengan KPU, dapat segera diklarifikasi. Peran media juga menjadi penting untuk menjadi referensi.
Salah satu aplikasi KPU adalah sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) harus menjadi bagian yang diawasi ketat. Maka bersama ini KPU pun membentuk gugus tugas keamanan siber untuk menjamin data-data jelang Pemilu 2024. Gugus tugas ini berfungsi mengamankan website dan aplikasi milik KPU yang ada saat ini. ***
sumber:kumparan