Merdeka Sinyal dan Mimpi Digital

img

Indonesia memasuki usia ke-75 tahun ini. Hanya saja, gelora kampanye digitalisasi yang digaungkan pemerintah, nyatanya masih berbanding terbalik dengan layanan internet yang belum merata ke seluruh penjuru Tanah Air.

Kesenjangan digital masih terasa kuat. Masyarakat kota sudah sangat mudah mengakses internet, namun mereka yang tinggal di puluhan ribu desa justru belum merdeka internet. 

Data milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terbaru mendapati, ada 12.548 desa belum terlayani internet dengan baik. Jumlah ini kira-kira mencapai 15% dari 83.000-an desa di seluruh Indonesia.

Ketimpangan infrastruktur internet di sejumlah daerah, makin terasa di tengah pandemi ini. Maklum saja, pandemi yang terjadi memaksa banyak aktivitas dilakukan di rumah lewat sistem daring alias online.

Pemerintah sejatinya menyadari hal ini. Dalam rapat terbatas “Perencanaan Transformasi Digital”, Senin (3/8), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan percepatan transformasi digital. Jokowi meminta Kemenkominfo segera menyelesaikan masalah akses layanan internet di 12.548 desa tersebut.

Bagi Kepala Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha, permintaan Jokowi wajar dan harus dilakukan. Pasalnya, memberikan layanan terhadap akses informasi yang memadai untuk masyarakat diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28 F.

Selama ini, pemerataan infrastruktur internet seolah tidak dicari solusinya oleh pemerintah. Nah, ketika kejadian luar biasa seperti pandemi terjadi, imbasnya baru terlihat. Tak sedikit siswa sekolah di sejumlah daerah kesulitan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena masalah ini.

Pratama memahami, tidak semua desa di Indonesia dapat dijangkau dengan mudah karena kondisi geografisnya. Belum lagi kecenderungan operator seluler yang pilih-pilih ketika merencanakan pembangunan infrastruktur jaringan. Operator seluler menilai tidak semua daerah menguntungkan.

Namun kondisi ini, sepatutnya tidak menjadi alasan buat pemerintah. Menurutnya, pemerintah dengan cara apapun, harus hadir memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Inilah fungsi pemerintah itu hadir untuk rakyat. Kalau enggak, bikin sistem yang kayak zaman dulu, ada RT/RW Net, murah, infrastrukturnya enggak perlu besar-besar. Yang penting bisa dapat akses komunikasi,” ungkapnya kepada Validnews, Rabu (12/8).

Pemerintah, lanjutnya, juga harus mulai mengubah cara berpikirnya. Pemerintah harus menyadari penyediaan anggaran besar untuk pemerataan infrastruktur internet ini, sesungguhnya dapat mendongkrak ekonomi masyarakat di daerah.

“Memang ini proyek rugi. Tapi rugi untuk masyarakat enggak apa-apa. Karena masyarakat yang tadinya bisnisnya hanya lokal, bisa dinasionalkan (karena internet) sehingga menaikkan ekonomi daerah,” jelasnya.

Palapa Ring
Indonesia sebenarnya telah memiliki beberapa proyek besar untuk mendukung pemerataan internet. Salah satunya Palapa Ring. 

Mengutip dari laman resmi Komenkominfo, Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer (km).

Proyek ini terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik untuk wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi dan Maluku, dengan satu pengalur jaringan atau backhaul untuk menghubungkan semuanya. Proyek ini sudah diresmikan Presiden pada Oktober 2019 lalu.

Palapa Ring terdiri dari tiga jalur. Palapa Ring bagian barat sepanjang 2.275 km, tengah sepanjang 2.995 km, dan timur sepanjang 6.878 km. Keberadaan Palapa Ring diharapkan dapat membuat kesenjangan antara Indonesia bagian barat dan timur berkurang.

Sayangnya, pemerintah sampai sekarang belum memaksimalkan infrastruktur mahal yang sudah ada itu. Pratama mengamati, Palapa Ring Timur sejak diresmikan beberapa bulan lalu sampai sekarang tidak pernah ada kelanjutan lagi aksinya.

“Percuma kita bikin jalan tol, tapi enggak ada jalan keluarnya. Percuma kita bikin backbone, tapi enggak ada penarikan sampai ke rumah-rumah warga,” tuturnya.

Seruan serupa disampaikan Peneliti Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nasrullah. Sampai saat ini dirinya belum melihat pemerintah mengoptimalkan fungsi Palapa Ring.

Menurutnya, pemerataan internet dapat tercapai apabila Palapa Ring dapat dimanfaatkan dengan baik. Oleh karenanya, jelasnya, perlu dibangun jaringan di level middle mile dan lise mile. Jaringan itu nantinya akan terintegrasi dengan Palapa Ring yang sudah dibangun. 

“Ibarat kalau jalan, ada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten. Di sinilah perlu adanya jaringan lise mile. Ditargetkan oleh Pak Presiden harus selesai untuk menyelesaikan masalah 12.548 desa hingga akhir tahun 2022,” terangnya.

Dirinya sepakat, pemerataan infrastruktur telekomunikasi harus disegerakan. Jadi, selain teknologi jaringan, menurutnya pemerintah juga harus bereskan masalah ketersediaan listrik. Sebab, sampai saat ini, banyak daerah di Indonesia, khususnya 3T, belum dapat akses listrik.

“Semua harus disiapkan, terutama infrastruktur dulu di daerah 3T yang mendukung daerah ini. Kemudian, baru sosialisasi terhadap masyarakatnya,” kata dia.

 

Literasi dan Inovasi
Selain infrastruktur, Kepala Pusat Manajemen Informasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Irwan Rawal Husdi, mengingatkan pentingnya literasi digital.

Untuk diketahui, antusias masyarakat Tanah Air memakai internet makin tinggi. Tengok saja laporan media sosial hootsuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020". Dalam laporan tersebut, disebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang. 

Menariknya, saat ini semua orang, termasuk mereka di daerah kecil, tiba-tiba sangat membutuhkan internet karena terdesak pandemi covid-19. Padahal, sebelum pandemi, masyarakat di daerah sulit mengubah kebiasaan lama dari konvensional ke digital.

“Nah, sekarang harus diimbangi dengan infrastruktur di daerah kecil ini harus cepat didukung, karena masyarakatnya sudah siap untuk mengubah kebiasaan,” ungkapnya.

Pendapat lainnya datang dari Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja. Ia menuturkan, pemahaman masyarakat terkait dengan penggunaan internet masih perlu dibangun. Pemerintah menurutnya tidak bisa begitu saja menyiapkan layanan internet, jika tidak dibarengi dengan literasi ke masyarakat.

“Karena, pertumbuhan teknologi yang namanya internet, itu terkait bukan karena teknologi, tapi terkait dengan kesiapan SDM-nya, manusianya,” cetusnya.

Kata dia, bukan rahasia umum, keadaan geografis Indonesia membuat banyak operator seluler tidak mau berinvestasi. Tak heran jika ketimpangan terus terjadi.

Namun, menurutnya, hal itu dapat diantisipasi dengan berbagai inovasi. Teknologi Indonesia, kata Ardi, sejatinya sudah cukup mumpuni dan beraneka ragam. Setidaknya hal itu dibuktikan pada 1976, di mana Indonesia meluncurkan satelit komersial pertama, Palapa. Indonesia menjadi negara ketiga setelah Amerika dan Kanada, yang berhasil mengoperasikan satelit komersial sendiri.

Oleh karenanya, saat ini, Ardi mengatakan, pemerintah bisa saja mengembangkan inovasi seperti membuat teknologi wifi jarak jauh, dengan memanfaatkan satelit yang ada.

"Wifi radius di kota kan terbatas. Bisa enggak, kita kembangkan jarak jauh, sehingga paling tidak wifi buat daerah perbukitan bisa terjangkau," ucapnya kepada Validnews, Kamis (13/8).

Sependapat dengan Pratama, ia melihat pemerintah dapat menghidupkan kembali inovasi yang pernah ada, yakni RT/RW Net. Strategi ini bisa dilakukan sebelum masuknya operator seluler ke daerah-daerah kecil di Indonesia.

RT/RW Net yang dulu sempat diberhentikan oleh pemerintah, kini bisa dibuat badan hukumnya agar menjadi legal. "Jadi, RT/RW Net dulu merupakan inisiatif dari masyarakat, tapi tidak diatur oleh pemerintah. Sekarang, RT/RW Net bisa kembali digalakkan," imbuhnya.

Baca juga: Penggagas Internet Berbiaya Murah

Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Henri Subiakto, mengakui, persoalan SDM memang sudah menjadi fokus perhatian Kemenkominfo ke depan. Pihaknya, menyiapkan SDM dengan dua hal, yakni literasi digital dan bekerja sama dengan universitas untuk meningkatkan kompetensi para sarjana.

Saat internet nanti sudah merata nanti, masyarakat diharapkan bisa langsung produktif. Sebab masyarakat telah memiliki kemampuan dasar yang mencukupi tentang penggunaan digital. 

Desak Operator
Soal layanan akses internet yang belum merata di Indonesia, ia menilai lebih karena banyak Base Transceiver Station (BTS) belum disentuh oleh operator seluler. Makanya, Henri mengakui, kemerdekaan sinyal memang belum tercapai sekarang. Karena faktanya 12.548 titik di Indonesia belum mendapat layanan 4G.

Namun Kemenkominfo tidak berdiam diri. Mereka punya target hingga 2023 untuk menjalankan mandat Presiden terkait transformasi digital berbasis 4G. Kemenkominfo bakal mendesak pihak operator seluler untuk berkomitmen melayani seluruh masyarakat Indonesia sebaik-baiknya, dengan memanfaatkan BTS yang ada.

Henri menyampaikan, sejauh ini, ada 3.435 desa di Indonesia yang harus dinaikkan levelnya menjadi 4G oleh operator seluler. Mayoritas berada di Pulau Jawa. Sisanya, Kemenkominfo melalui Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), bakal membangun infrastruktur internet di 9.113 desa lainnya.

“Yang dibangun pemerintah itu di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), daerah perbatasan, daerah terpencil, itu negara,” tuturnya kepada Validnews, Senin (10/8).

Direktur Utama BAKTI Anang Latif juga yakin transformasi digital merupakan suatu keharusan di seluruh sektor, baik pendidikan maupun kesehatan. Maka dari itu, pihaknya akan menyelesaikan persoalan infrastruktur internet di 9.113 titik ini sesegera mungkin.

“Ya, ada wilayah yang masih blank spot. Presiden telah memerintahkan kepada pak Menkominfo untuk menyelesaikan hal ini. Jadi kami berbagi tugas dengan para operator,” singkat Anang kepada Validnews, Rabu (12/8).

Selama ini, kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan menjadi penyebab pihak operator seluler tidak berani sembarangan masuk atau berinvestasi di suatu daerah. Kata Anang, daerah-daerah yang memiliki kondisi geografis tidak bagus dianggap belum layak secara bisnis.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR Willy Aditya menyatakan, kontur geografis Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, ada wilayah dengan ketinggian dan ketertutupan fisik yang harus diatasi dengan perangkat teknis memadai.

Hal ini makin sulit karena anggaran pemerintah dalam pemerataan akses internet belum memadai. Dengan begitu, hambatan di lapangan itu tidak terselesaikan.

“Tapi, keterbatasan anggaran itupun terus kita upayakan untuk meningkat tentunya dengan pertimbangan strategis kondisi keuangan negara. Laporan Kominfo di DPR mengatakan ada 12.000-an lokasi yang perlu dukungan pendanaan,” kata dia kepada Validnews, Senin (10/8).

Bagaimana pun DPR mengklaim akan berupaya keras mendukung kebijakan anggaran pemerataan akses internet ini. DPR sesuai dengan fungsinya, lanjut dia, juga akan terus mengawal program pemerataan akses internet ini.

Apabila ke depan ada peraturan yang menghambat, DPR kata Willy, berjanji bakal mengupayakan kebijakan baru sebagai terobosan. (Maidian Reviani, Gisesya Ranggawari, Faqih Fathurrahman)

 

Sumber:validnews