Kesadaran Keamanan Minim, Indonesia Jadi Bulan-bulanan Hacker

img

Masyarakat diimbau awas di tengah pandemi Corona Covid-19. Selain waspada terhadap virus, masyarakat juga kudu hati-hati pencurian data oleh hacker.

Pasalnya, saat pandemi sekarang ini, transaksi online di e-comerce meningkat tajam. Sedangkan, baru-baru ini, kabar kebocoran data 91 juta pengguna sebuah platform jual beli menggegerkan publik.

Ini bukan kejadian pertama di Indonesia. Tentu saja, pencurian data ini sangat merugikan.

Pakar Keamanan Siber Pratama Prasadha mengungkapkan, sebenarnya kebocoran data di sejumlah paltform dan institusi telah terjadi sejak dulu.

 

"Saya pikir kita baru terkaget sekarang ketika ada platform-paltform besar yang ternyata datanya bocor. Padahal sebenarnya, banyak lembaga, institusi, termasuk bank dan kantor pemerintahan dari pusat dan daerah," ungkap Pratama saat Ngobrol Santuy Live Instagram @rakyatmerdeka1999 dengan tema Awas Data Dijebol yang dipandu oleh wartawan Rakyat Merdeka M. Fiki Aziz, Jumat (22/5).

Pratama memaparkan, kebocoran data terjadi karena pengamanan IT masih kurang dan dianggap sebelah mata. Investasi untuk bidang keamanan ini masih sangat minim. Akibatnya, SDM yang diambil asal-asalan yang tak tahu menahu soal teknis secara mendalam.

"Tahu komputer awam saja, diberi tugas mengamankan server. Padahal yang dibutuhkan SDM dengan kemampuan lebih, dengan sertifikat dan lain-lain," katanya.

Selanjutnya, investasi di bidang software yang kurang maksimal. Perusahaan dan pemerintah menganggap belanja untuk pos ini terlalu mahal. Padahal, ini sangatlah penting untuk melindungi data.

 

"Butuh firewall untuk mengamankan dari serangan-serangan siber. Kalau tak dilengkapi dengan itu, otomatis sistem lumpuh. Beli alat Rp 1 Miliar bilangnya mahal, padahal investasi segitu untuk mengamankan aset yang harganya Rp 600 milyar. Akhirnya beli yang murahan," ujarnya memberi ilustrasi.

Yang berikutnya adalah policy atau kebijakan. Kadangkala, policy soal ini baik di pemerintahan maupun perusahaan tidak jalan. Tidak ada standar keamanan yang paten. Boro-boro menerapkan ISO 2021. Aturan yang dibikin untuk mensterilkan ruang server saja tidak ada.

"Saya pernah diajak ke ruang server sebuah instansi pemerintah, di ruang servernya, lantai tujuh, adminnya lagi ngrokok, pintunya terbuka tidak terkunci. Saat masuk ada orang lalu lalang yang tidak jelas. Artinya apa, tidak ada keamanan yang paling standar sekalipun," terang Pratama.

Artinya kata dia, kesadaran terhadap keamanan informasi masih sangat kurang yang mengakibatkan kita menjadi bulan-bulanan hacker.

 

"Jangan santai saja. Kita ini jadi target serangan pembobolan data oleh hacker setiap hari. Hacker tak hanya menyasar perusahaan dan institusi besar, sekarang sudah ke personal," ingatnya.

Apalagi valid value orang Indonesia sudah lumayan. Sudah banyak orang yang terbiasa memakai M-Banking. Ini valuasi yang besar dan target incaran hacker.

Selain itu, lebih mudah membobol perorangan ketimbang perusahaan besar.

"Kebetulan aja Tokopedia yang baru ketahuan. Padahal perusahaan lain, sudah jebol juga cuman belum ketahuan saja," tandasnya. 

 

Sumber:rakyatmerdeka