Cara Digital Melacak Jejak Korona

img

SEJAK awal Februari 2020, pergerakan warga Tiongkok bergantung pada ponsel mereka. Itu tepatnya sejak pemerintah Tiongkok meluncurkan sistem kode QR (quick res ponse) yang menentukan boleh tidaknya mereka bepergian berdasarkan kondisi kesehatan.

Kode respons cepat itu disematkan pada aplikasi-aplikasi yang dipakai jutaan orang di Tiongkok; WeChat dan AliPay. Setelah mengisi data pribadi, riwayat perjalanan, kondisi kesehatan, serta kontak atau tidaknya dengan orang yang terinfeksi covid-19, pengguna akan mendapat kode QR berwarna. Kode hijau artinya pengguna tidak dalam karantina, ia bebas bepergian dalam kota. 

Kuning, pengguna mengarantina diri di rumah selama 7 hari, serta merah bagi mereka yang menjalani karantina dalam pengawasan selama 14 hari. Status kode warna diperbarui setiap hari.

Kode QR tersebut juga menjadi alat pelacak dan perekam pergerakan warga. Itu lantaran tempattempat umum mewajibkan pengecekan atau pemindaian kode sebelum dapat diakses warga. Dengan begitu, saat seorang pemilik kode terkonfirmasi positif covid-19, pemerintah dapat melacak pergerakan sebelumnya dari si pasien, termasuk orang-orang yang ditemui.

Teknologi kode QR juga digunakan otoritas Moskow, tempat lebih dari 61% kasus covid-19 di Rusia terjadi. Mulai awal April, warga Moskow yang ingin bepergian, bahkan untuk sekadar mengajak anjing berjalan di sekitar rumah, harus punya kode QR. Kode itu akan mereka peroleh setelah mendaftar di situs atau mengunduh aplikasi pemerintah.  Mereka harus memasukkan tujuan dan rute bepergian, selain data pribadi. Berkeliaran tanpa kode tersebut akan diganjar dengan denda. Selain kode QR, ada pula pemanfaatan sinyal Bluetooth di gawai sebagai amunisi digital dalam memerangi pandemi.

Korea Selatan dan Hong Kong kini menggunakan gelang elektronik untuk menghentikan pelanggar karantina. Mereka menemukan pelacakan pemerintah mudah ditipu oleh pelanggar jam malam yang meninggalkan ponsel mereka di rumah. Gelang elektronik yang terhubung ke aplikasi melalui Blue tooth akan memberi tahu petugas jika orang tersebut meninggalkan rumah, atau mencoba untuk menghancurkan gelang. Korea juga memberlakukan hukuman untuk pelanggaran jam malam berupa satu tahun penjara dan denda US$ 8.200.

Sementara itu, aplikasi buatan pemerintah Singapura, TraceTogether, melalui Bluetooth, tak hanya perekam pergerakan. Ia juga melacak kedekatan pengguna aplikasi dengan pengguna lain hingga 2 meter. Aplikasi itu juga memberi peringatan bila penggunanya berinteraksi dengan pengguna lain yang punya risiko tinggi terpapar covid-19.

Adapun saat penggunanya positif covid-19, aplikasi akan meminta izin untuk menarik data nomor telepon orang-orang yang sering dihubungi dan memberi peringatan kepada mereka. Di Indonesia, pemerintah juga sudah meluncurkan apllikasi yang bisa melacak wilayah dengan penyebaran pandemi tinggi, yaitu PeduliLindungi. Aplikasi ini mirip TraceTogether, memakai bluetooth sebagai pintu masuk untuk mendeteksi keberadaan orang dengan status orang dalam pemantauan (ODP), pasien dengan pengawasan (PDP), maupun positif covid-19 di sekitar kita.

Namun, saat diunduh Media Indonesia, medio pekan ini, aplikasi tersebut tak dapat dipakai. Pasalnya, aplikasi langsung menutup segera setelah dibuka.

Di luar isu teknis, ada isu lain yang melingkupi aplikasi-aplikasi pelacakan yang digunakan sejumlah pemerintahan saat ini; privasi data. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab nyaris stagnannya pertambahan pengguna aplikasi TraceTogether di Singapura.

Agar efektif, aplikasi sukarela itu mensyaratkan diunduh oleh kurang lebih tiga perempat warga Singapura, atau sekitar 4,3 juta. Walakin, angka pengunduh sekarang masih di kisaran 1 jutaan.

Kekhawatiran soal privasi data juga mengemuka di Tiongkok dan Moskow. “Ada risiko besar berupa kebocoran data pengguna setelah pandemi ini berakhir. Kebocoran seperti pernah terjadi juga sebelumnya,” ucap Sarkis Darbinyan, advokat Roskomsvoboda, organisasi penegak kebebasan berinternet di Rusia.

“Kami khawatir tentang kemungkinan aplikasi ini digunakan untuk melacak pergerakan jutaan orang dan juga terbukti menjadi alat kontrol sosial. Bagi orang-orang yang kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan otoritas kesehatan pada saat ini, dengan menjadi sasaran pengawasan yang mengganggu dan tidak perlu, hanya akan merusak upaya memerangi virus,” kata peneliti senior Privacy International Tom Fisher.

Sementara itu, peneliti Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menilai, hampir tidak ada eksploitasi data untuk aplikasi-aplikasi semacam itu karena data diinput oleh masyarakat sendiri.

“Namun, memang perlu ditelusuri lebih lanjut data ini apakah dikumpulkan ke server pusat atau disimpan di mana?

Artinya bila ke depan data ini dipakai, seharusnya mendapatkan izin terlebih dahulu dari masyarakat, minimal lewat policy privacy disampaikan,” ujar Pratama saat dihubungi, Kamis (23/4).

Dengan pengawasan Komisi Informasi Publik dan DPR seharusnya negara tidak mudah menyalahgunakan data. Karena itu, imbuhnya, harus dikebut penyelesaian RUU Perlindungan Data Pribadi. “Yang termasuk soal kapan data penduduk bisa digunakan dalam situasi genting dengan pengawasan penuh lembaga negara yang ada.”

Lebih lanjut, ia menilai efektivitas aplikasi pelacakan yang ada di Tanah Air tak akan optimal jika tidak terhubung basis data lain. Ia mencontohkan aplikasi pelacakan Tiongkok yang sinkron dengan data tiket penerbangan. “Data perjalanan yang terekam di setiap ponsel pintar masyarakat mestinya bisa digunakan dalam situasi krisis seperti virus korona untuk disandingkan dengan data ticketing sehingga menghasilkan data presisi apakah kita harus masuk status PDP, harus tes segera. Tentu dengan izin,” ujarnya

sumber: MediaIndonesia