FOKUS: Menakar Pentingnya Badan Siber Nasional Mengingat Pemilu Rawan Di-Hack
SALAH satu dampak negatif kemajuan teknologi adalah rawannya hack atau pembajakan situs-situs resmi. Kalau sudah kena hack, sistem pun bakal kacau balau.
Khusus untuk kepentingan politik, hack atau pembajakan sebagai operasi politik modern sudah mulai kentara. Masyarakat pun nantinya akan bingung bukan kepalang jika ada tokoh politik yang mengklaim memenangkan pemilu, meski sebenarnya tidak.
Hal semacam itu sudah terjadi di beberapa negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Sebut saja kala Pemilihan Presiden (Pilpres) Meksiko, Nikaragua, Panama, Honduras, El Salvador, Kolombia, Kosta Rika, Guatemala dan Venezuela.
Nah, untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 dan Pilpres 2019 karena sistemnya sudah mulai terkomputerisasi, tak luput dari ancaman serupa.
Bisa saja nanti ada pasangan yang tak siap kalah, menyewa hacker-hacker atau para pembajak demi kepentingan pribadinya. Makanya, di Indonesia sendiri nampaknya sudah mulai diperlukan pembentukan Badan Siber Nasional.
“Dalam suatu kelompok peretas, biasanya terdiri dari 7-15 orang yang memiliki keahlian yang berbeda. Kelompok ini menawarkan layanan bagi yang ingin menggunakan keahliannya untuk kepentingan pemilu,” terang Chairman CISSReC (Communication and Information System Security Research Center), Pratama Persadha.
“Mulai dari mencuri strategi kampanye, memanipulasi media sosial, meretas ponsel, membuat situs palsu, intersepsi, mengirim pesan teks dan e-mail secara massal, serta memasang spyware di perangkat milik kelompok oposisi,” imbuhnya.
Pratama juga menambahkan bahwa ketiadaan Badan Siber Nasional saat ini, jadi pekerjaan rumah (PR) tertentu. Pasalnya tanpa Badan Siber Nasional, pekerjaan penyelenggara pemilu akan lebih berat, terutama dalam mengadang serangan siber.
Pemerintah sendiri sedianya tak tutup mata akan ancaman serangan siber. Namun sayangnya pada September lalu, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengurungkan niat pembentukan Badan Siber Nasional dengan alasan efisiensi anggaran.
Setidaknya untuk menangkal serangan siber, Presiden Jokowi cenderung memilih penguatan fungsi siber dari berbagai instansi pemerintah.
“Untuk menangani masalah keamanan siber, tidak perlu membentuk lembaga baru mulai dari nol. Tapi, kita bisa manfaatkan, bisa kembangkan, bisa konsolidasikan dengan unit-unit di kementerian atau lembaga yang memiliki fungsi keamanan siber,” cetus Presiden Jokowi, 20 September 2016.
Tapi sebulan kemudian, muncul pernyataan Menko Polhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto, terkait pembahasan pembentukan Badan Siber Nasional lanjutan. Hal itu diungkapkannya sepulang dari Singapore International Cyber Week pada 9-10 Oktober, di mana ASEAN dan PBB sudah kencang menyoroti kejahatan siber.
"Kami sedang melakukan langkah-langkah menuju ke sana (pembentukan Badan Siber Nasional) dan sudah melalui suatu rapat-rapat yang sangat intens," ungkap Wiranto, 10 Oktober lalu.
“Pertemuan di sana (Singapura) kemarin, kita (ASEAN) dengan pihak Amerika Serikat dan Inggris, sama-sama membicarakan metode pengamanan aktivitas negara dari kejahatan siber," pungkasnya.
