Peretasan Pemilu Mungkin Terjadi, Pemerintah Perlu Badan Siber Nasional
JAKARTA - Chairman CISSReC (Communication and Information System Security Research Center), Pratama Persadha, belum lama ini berpendapat bahwa penyelenggara pemilu Indonesia perlu waspada akan terjadinya peretasan. Pasalnya, peretasan dalam pemilu pernah terjadi beberapa kali dalam pemilihan presiden di negara-negara Amerika Latin.
Dalam tulisan yang dikirimkannya kepada Okezone, Pratama menjabarkan bahwa pemilihan presiden di Meksiko, Nikaragua, Panama, Honduras, El Salvador, Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, dan Venezuela pernah dicurangi oleh para peretas. Peretas ini memiliki sejumlah cara untuk operasi politik modern guna mencari kelemahan lawan dan menekan jumlah pemilih dari opisisi.
“Dalam suatu kelompok peretas biasanya terdiri dari tujuh sampai 15 orang yang memiliki keahlian yang berbeda-beda. Kelompok ini menawarkan layanan bagi mereka yang ingin menggunakan keahliannya untuk kepentingan pemilihan umum. Mulai dari mencuri strategi kampanye, memanipulasi media sosial, meretas ponsel, membuat situs palsu, intersepsi, mengirim pesan teks dan e-mail secara massal, serta memasang spyware di perangkat milik kelompok oposisi,” terang Pratama.
Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa media sosial juga berpengaruh besar pada setiap pemilihan umum. Peretas akan menggunakan perangkat lunak khusus, sehingga dapat mengelola dan mengerahkan puluhan ribu tentara virtual di Twitter.
“Perangkat lunak ini mengubah nama foto profil dan biografi sesuai dengan kebutuhannya. Dari sini, mereka dapat dengan mudah membuat isu-isu tertentu untuk mengunggulkan kelompok yang membayar mereka dan menjatuhkan pihak oposisi. Pada beberapa kasus, suatu akun Twitter palsu sudah dibuat dan dikelola secara rutin, setidaknya selama satu tahun. Akun itu akhirnya mendapat banyak follower dan dapat dengan mudah menggiring opini publik atas suatu isu tertentu,” lanjut dia.
Oleh karena itu, Pratama menyebutkan bahwa kondisi seperti ini patut diwaspadai agar penyelenggara tidak menjadi korban sehingga hasil pemilu benar-benar sah. “Ketiadaan badan Siber Nasional memang menjadi PR besar pemerintah saat ini. Tanpa BCN, tentu para penyelenggara pemilu akan bekerja lebih berat, utamanya dalam menghadang serangan siber,” pungkasnya.
