Taksi Online Perlu Aturan Tersendiri

img

Jakarta - Operasional taksi berbasis aplikasi (taksi online) atau model bisnis e-hailing sebaiknya diatur dalam peraturan tersendiri di luar Permenhub No 32/2016. Filipina bisa menjadi contoh yang baik, karena taksi berbasis aplikasi seperti Uber dan sejenisnya sudah legal dan mendapatkan regulasi tersendiri.

Pemerintah Filipina juga mewajibkan asuransi, berbagai standar keamanan-kelayakan, serta memungut pajak yang bisa menjadi pemasukan baru bagi negara. “Sebab taksi online ini merupakan solusi untuk banyak pihak. Masyarakat mendapatkan transportasi murah dan nyaman, pemerintah mendapatkan pajaknya. Masyarakat juga terbuka peluang memiliki usaha yang relatif mudah dengan aplikasi transportasi online,” ujar praktisi bidang teknologi informasi (TI) yang juga chairman Communcation and Information System Security Research Center (Cissrec) Pratama Persadha kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (28/9).

Dia diminta menanggapi seputar Permenhub 21/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang diprotes sejumlah kalangan. Permenhub 32/2016 diprotes karena beberapa hal. Pertama, aturan itu memaksakan sopir sebatas menjadi karwayan atau perkerja dan bergabung dengan perusahaan aplikasi penyedia taksi online. Kedua, pemerintah menggolongkan taksi online sebagai angkutan umum sehingga harus melakukan uji KIR dan sopir memiliki SIM A Umum. Ketiga, mereka menolak keharusan balik nama surat tanda nomor kendaraan (STNK) kendaraan ke perseroan terbatas (PT) maupun koperasi.

Karena mendapat resistensi, pemerintah akhirnya menunda enam bulan penerapan Permenhub 32 hingga 1 April 2017 bagi para pemilik kendaraan maupun pengemudi taksi online untuk memenuhi persyaratan.

Menurut Pratama, pemerintah seharusnya bijak melihat ke depan. Alih-alih memperberat syarat aplikasi transportasi online, lebih baik mendorong para pemain lama untuk ikut terjun. Sebab pada dasarnya masyarakat menginginkan kemudahan dengan harga terjangkau.

“Padahal prinsip bisnis aplikasi online ini hanya mempertemukan konsumen dengan para pemilik kendaraan, sehingga sebenarnya mirip rental biasa. Namun memang mengancam kehidupan pemain taksi yang sudah ada,” katanya.

Dia menilai, polemik Permenhub No 32 terjadi karena belum siapnya sejumlah pihak menghadapi teknologi dari sisi regulasi. “Teknologi ini fungsinya mempermudah kehidupan masyarakat. Kalau ujung-ujungnya Permenhub 32 membuat masyarakat kesulitan, bisa dipastikan yang akan protes tidak hanya pengemudi transportasi online, tapi juga masyarakat,” ujarnya.

Pratama menjelaskan, transportasi berbasis aplikasi merupakan peluang besar. Apalagi pemakai internet di Indonesia mencapai 90 juta orang. “Jangan sampai pemerintah mempertahankan regulasi yang merugikan masyarakat,” katanya.

Dia menegaskan, ada investasi besar yang masuk dan langsung mensubsidi masyarakat pengguna taksi online.
“Situasi ekonomi kan sulit. Aplikasi transportasi online langsung membuka lapangan kerja dengan cepat,” ujarnya.

Sedangkan Manajer Riset Perkumpulan Prakarsa Victoria Fanggidae mengatakan, pemerintah perlu memberikan ruang hukum yang jelas kepada model bisnis e-hailing karena perkembangan teknologi tak bisa dicegah.

“Perkembangan teknologi tidak bisa dibendung, tapi juga harus diatur. Dalam diskusi kami dengan Kementerian Perhubungan dan beberapa pakar transportasi, semua sepakat bahwa bisnis e-hailing booming karena adanya demand moda transportasi yang aman, nyaman, cepat dan murah,” ujarnya.

Dalam kebijakan publik, kata Veronica, transportasi berbasis aplikasi adalah makhluk baru yang belum ada referensi hukumnya. Tapi tetap perlu diregulasi agar tidak merugikan semua pihak.

Di Amerika Serikat, negara asal Uber, sejumlah kasus mencuat di pengadilan berbagai negara bagian akibat belum adanya kebijakan yang jelas tentang dan belum ada jurisprudensinya.

Victoria menambahkan, transportasi berbasis aplikasi hanya mengisi gap kebutuhan transportasi. Itu sebabnya, pemerintah perlu memiliki grand design transportasi massal yang baik.

Peluang Besar
Pratama mengatakan, pada akhirnya pemerintah harus melihat transportasi berbasis aplikasi ini sebagai peluang. Keinginan Presiden Jokowi untuk menerapkan e-government di semua aspek akan ternodai bila aplikasi transportasi online dipersulit, karena sudah cukup mengakar di masyarakat perkotaan.

Namun bukan berarti aplikasi online ini tanpa cela. Pemerintah perlu membuat regulasi khusus terutama terkait keselamatan, pajak, dan standar keamanan aplikasi tersebut.

Dia optimistis, masa depan transportasi berbasis aplikasi sangat cerah, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Walau mendapatkan 'perlawanan' dari moda transportasi lokal, model ini tetap eksis karena memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Di Indonesia, peluangnya masih sangat besar, bukan hanya kota-kota besar Jawa, tapi juga luar Jawa. Kini kebutuhan tidak hanya mengangkut penumpang. Go-Jek dan Grab Bike bahkan sudah melebarkan layanan dengan pengiriman barang, bersih-bersih, pijat, dan masih banyak lainnya.

Surat Edaran
Sementara itu, Kemenhub sudah menerbitkan surat edaran (SE) kepada dinas perhubungan se-Indonesia pada Rabu (28/9). SE itu menginstruksikan agar daerah tidak melakukan tindakan represif terhadap pengemudi maupun kendaraan taksi online yang belum sesuai persyaratan Permenhub No 32.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Pudji Hartanto Iskandar menjelaskan, permenhub itu mulai berlaku 1 Oktober 2016. Akan tetapi, setelah ada kendala di lapangan, pihaknya memperpanjang waktu sosialisasi selama enam bulan hingga 1 April 2017. Selama masa sosialisasi itu, Kemenhub menjamin tidak ada tindakan represif, seperti penilangan maupun pengandangan bagi yang belum memenuhi persyaratan.

Selain memperpanjang waktu sosialisasi, lanjut Pudji, Kemenhub siap membuka dialog kembali dengan para komunitas taksi online, khususnya perwakilan dari pengemudi. Pemangku kebijakan menjadwalkan pertemuan lanjutan dengan pihak-pihak terkait itu guna membahas aturan taksi online pada Senin (3/10).

“Dalam pertemuan itu, kami akan menjelaskan secara lebih rinci mengenai Permenhub 32 kepada semua pihak. Selain itu, kami juga akan mendengar masukan dari mereka, khususnya para pengemudi. Nantinya ada revisi atau tidak. Kan, kami belum mendengar masukan mereka seperti apa,” jelas Pudji.

Menurut Pudji, perwakilan komunitas pengemudi angkutan umum berbasis teknologi informasi (TI) telah dua kali melakukan aksi unjuk rasa dan Kemenhub telah menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang dikeluhkan para pengemudi tersebut serta memberikan beberapa solusi.

Untuk kewajiban balik nama dalam pencantuman nama badan hukum pada STNK milik pribadi, ungkap Pudji, Kemenhub memberikan masa transisi selama satu tahun hingga 1 Oktober 2017.

Selain itu, terkait tempat penyimpanan kendaraan (pool), para pengemudi dapat menggunakan garasi sesuai dengan jumlah kendaraan yang dimiliki. “Kewajiban pool ini kan supaya pemillik kendaraan taksi online tidak memarkir kendaraannya secara sembarangan,” papar dia.

Namun, terkait pengujian kendaraan bermotor (KIR), persyaratan SIM A Umum untuk pengemudi, serta tanda khusus berupa stiker, Pudji menegaskan, tetap diberlakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Untuk asuransi kendaraan pribadi yang dijadikan sebagai angkutan umum, hendaknya pemilik kendaraan menyesuaikan dengan produk-produk asuransi yang digunakan,” kata Pudji.

Selain itu, para perusahaan atau lembaga penyedia aplikasi berbasis TI tersebut tidak dapat bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum. “Karena itu, mereka tidak boleh menetapkan tarif, memungut bayaran, merekrut pengemudi, serta menentukan besaran penghasilan pengemudi,” tutur Pudji.

Selain itu, perusahaan/lembaga penyedia aplikasi harus melaporkan beberapa informasi kepada Direktur Jenderal Perhubungan Darat, meliputi profil perusahaan penyedia jasa aplikasi berbasis internet, akses monitoring operasional pelayanan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi.

Data Kemenhub menyebutkan, ada 7.256 unit kendaraan yang direkomendasikan untuk menjadi taksi online. Dari jumlah itu, yang sudah diuji KIR sebanyak 4.231 unit di mana yang lulus uji KIR 3.966 unit dan 265 armada dinyatakan tidak lulus uji.