Tips Cegah Pengaruh ISIS di Sosial Media

img

JAKARTA – Beberapa hari lalu, Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dinilai radikal. Hal ini menunjukkan bahwa internet menjadi salah satu jalur untuk menyebarkan propaganda atau ajakan bergabung ke dalam kelompok ekstrem seperti ISIS.

“Salah satu cara yang dilakukan untuk merekrut anggota adalah lewat media sosial. Layaknya MLM (Multilevel Marketing) yang melakukan pendekatan secara kontinu pada prospek, begitu juga ISIS dan Gafatar,” ujar Chairman CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha kepada Okezone, Senin (18/1/2016).

Lalu bagaimana melindungi anggota keluarga dari ancaman organisasi terlarang yang beroperasi menggunakan media sosial? Pertama dan paling penting adalah jangan pernah menyebarkan informasi pribadi di internet.

Jangan memublikasikan informasi pribadi seperti alamat atau nomor telepon pada blog, forum online, dan media sosial. Nomor telepon yang tersebar di media sosial sangat berbahaya karena bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sama halnya dengan alamat email. Alamat email bisa digunakan oleh orang jahil yang menggunakan email itu untuk berlangganan atau mendaftar situs-situs berkonten negatif. “Yang paling sering kita temui di Facebook dan Twitter adalah kita tidak segan-segan membagikan nomor kontak, email bahkan alamat, terutama di komen FB, maupun mention Twitter,” jelasnya.

Facebook menyediakan inbox message untuk komunikasi antar dua akun atau lebih tanpa terlihat di wall orang lain. Sedangkan Twitter menyediakan fitur Direct Message (DM). Fasilitas inbox pada Facebook lebih mudah penggunaannya, namun sekaligus rentan karena tanpa pertemanan, bisa langsung melakukan inbox. Sedangkan Twitter diklaim lebih aman, namun juga lebih rumit, karena kedua akun harus saling follow untuk melakukan DM.

Yang tak kalah penting, memperhatikan kembali kebijakan privasi pengguna pada media sosial yang digunakan. Pada kebijakan privasi pengguna seharusnya tercantum informasi pribadi apa saja yang ditampilkan, disebar luas atau tidak, dan digunakan untuk apa.

“Hal ini sering dilupakan oleh kita sebagai pengguna aktif media sosial. Apalagi di era big data seperti sekarang, data dianggap sebagai mata uang tersendiri. Bila data kita ternyata diperjualbelikan, bisa jadi nantinya data tersebut jatuh ke tangan anggota organisasi terlarang seperti ISIS dan Gafatar. Tentu kita tak mau jadi sasaran pengaderan mereka bukan,” terangnya.