JAKARTA, KOMPAS — Persaingan politik yang memanas antarpeserta pemilu membuat ancaman serangan siber terhadap Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu meningkat. Penyelenggara pemilu perlu memperkuat pengamanan sistem secara rutin agar semua tahapan pemilu dapat berlangsung secara aman dan tepercaya.
Kepala Lembaga Riset Keamanan dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research/CISSReC) Pratama Persadha saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/3/2023), mengatakan, dalam era digital, serangan siber dapat menjadi ancaman serius bagi penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Terlebih, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) banyak menggunakan teknologi dalam pelaksanaan tahapan pemilu.
Menurut dia, ancaman serangan siber yang dapat menyerang KPU dan Bawaslu, antara lain, adalah serangan DDoS, peretasan, hingga serangan malware. Serangan DDoS bisa membuat website KPU atau Bawaslu tidak dapat diakses publik. Peretasan juga dapat memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab mengakses informasi sensitif, seperti data pemilih atau informasi sensitif pribadi tentang partai politik dan calon anggota legislatif.
”Berbagai kebocoran data masih akan banyak terjadi, bahkan akan bertambah parah karena adanya persaingan politik,” ujar Pratama.
Oleh karena itu, menurut dia, KPU dan Bawaslu perlu melakukan tindakan pencegahan dan perlindungan yang tepat. Langkah yang bisa dilakukan, antara lain, ialah memperkuat sistem keamanan jaringan dan server, melakukan pembaruan keamanan secara teratur, serta memberikan pelatihan keamanan siber kepada staf dan karyawan. Selain itu, perlu untuk menjalin kerja sama dengan pihak keamanan siber terkait, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), untuk mengantisipasi dan menangani serangan siber yang terjadi.
Selain itu, lanjut Pratama, KPU dan Bawaslu juga perlu membentuk suatu program diseminasi informasi dalam rangka mengedukasi masyarakat menjelang pemilu agar pemilih tidak mudah termakan hoaks dan disinformasi. Kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam berbagai sosialisasi tidak cukup berfokus pada pemilu, tetapi juga ada materi tentang edukasi keamanan siber.
”Dengan melakukan tindakan pencegahan dan perlindungan yang tepat, KPU dan Bawaslu dapat memastikan bahwa pemilu dapat berlangsung secara aman dan tepercaya bagi semua pihak yang terlibat,” ujarnya.
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengakui, sistem informasi selalu memiliki potensi kerentanan. Oleh karena itu, KPU terus berupaya menutupi kerentanan-kerentanan tersebut dengan melakukan Information Technology Security Assesment (ITSA) atau teknik untuk menemukan celah kerentanan dan kelemahan pada sistem elektronik. ITSA dilakukan bersama Badan Siber dan Sandi Negara secara berkala untuk mencari titik kerentanan tersebut.
”Tidak hanya dengan cara memperbaiki sistem informasinya, tetapi juga layer keamanan jaringan yang juga terus diperbaharui dengan melakukan teknik pacthing, antimalware, antivirus, dan anti-Ddos,” ujarnya.
Betty menuturkan, semua tipe serangan siber yang pernah terjadi pada Pemilu 2004 hingga 2019 menjadi atensi KPU. Serangan siber yang bersifat sosial ialah penyebaran hoaks atau kabar bohong serta ujaran kebencian, serangan siber bersifat teknis, yakni penyerangan terhadap bank data, aplikasi, serta jaringan sistem digital, serta gangguan terhadap saluran transmisi, seperti sinyal dan frekuensi radio berpotensi kembali terjadi pada Pemilu 2024.
”Selain memperkuat satgas keamanan siber, KPU juga memitigasi serangan siber dengan menyebarluaskan antitesa terhadak hoaks dan kabar bohong,” katanya.
sumber:kompas