‘Wakaf’ Ilmu Ala Pesantren Siber

Dulu Afud Fudholi berpikir berkali-kali untuk memberanikan diri mempelajari IT (information technology). Afud sadar ibunya hanya berjualan kue bolu kecil-kecilan. Biaya belajar teknologi, dibenaknya pasti tidak murah.
Akan tetapi, informasi dari kakaknya-seorang guru honorer, benar-benar mengubah persepsinya. Afud akhirnya berani mempelajari IT di sebuah Pondok Pesantren (Ponpes) Siber. Semuanya gratis.
"Alhamdulillah, saya bisa belajar banyak soal IT dan mendapatkan bekal ilmu teknologi serta agama," begitu ucap Afud kepada Validnews, Sabtu (10/12).
Afud sangat bersyukur dirinya dapat melanjutkan pendidikan tanpa menambah beban ibunya yang sudah kelimpungan memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Bahkan untuk urusan laptop, Afud mendapat pinjaman dari Ponpes Siber. Laptop-laptop ini diperoleh Ponpes Siber dari pelbagai pihak.
Ponpes Siber, sejak didirikan Iwan Sumantri pada 2019, memang menerima banyak sumbangan. Sumbangan itu berupa barang yang masih layak pakai untuk para santri, misalnya laptop, LCD, RAM dan alat-alat di bidang IT dan siber lainnya. Karena dana dan peralatan terbatas, Ponpes Siber mula-mula hanya mampu menerima 10 santri.
Penyaringan masuk Ponpes Siber memang lumayan ketat. Setiap calon santri yang ingin bergabung, termasuk Afud, memang harus bisa memastikan diri lolos dari dua tahap tes.
Tahap pertama para calon santri akan dites hafalan ayat Al-Qur'an dan bahasa Arab, ditambah pengetahuan soal istilah dasar dari segala macam urusan bidang IT dan siber.
Tahap selanjutnya, calon santri akan ditanya-tanya seputar motivasi dan niat belajar IT di Ponpes Siber.
Pihak pengelola memang tidak ingin menerima santri yang datang karena paksaan orang tua. Afud sendiri lolos karena sudah lama bercita-cita jadi praktisi IT Security.
"Di sana belajar IT seperti IT security, programming, networking, dan ilmu agama seperti tahsin, hafalan ayat Al-Quran, dan sebagainya," ungkap Afud.
Sepengakuan Afud, para santri juga tidak hanya belajar dari guru-guru yang ada di Ponpes Siber. Mereka juga peroleh pengajaran dari pembicara dari luar, lewat program wakaf ilmu. Pada kesempatan itu, mereka banyak belajar mengenai digital forensic, security, dan lainnya.
"Kami jadi punya kesempatan untuk belajar dan memperdalam IT, tidak hanya dari bangku kuliah," ucap dia menambahkan.
Lain halnya dengan Ahmad Qonit. Rasa suka dan rasa penasarannya terhadap dunia IT lah yang mendorong Qonit masuk Ponpes Siber. Qonit ingin sekali mengkolaborasikan ilmu IT dan agama, sehingga nanti berguna untuk umat Islam.
Dia memang tumbuh dari keluarga yang religius. Sedari dulu Qonit memilih belajar di SDIT dan jenjang SMP dan SMA di pesantren.
"Ponpes Siber ini menyeimbangkan antara ilmu komputer dengan ilmu agama muslim. Siswa lulusan pesantren bisa mpelajari ilmu IT, sedangkan siswa lulusan umum tetap dapat mendalami ilmu komputer dengan dibekali ilmu agama," papar Qonit kepada Validnews, Minggu (11/12).
Dia bercerita kurikulum di sana. Pada bulan-bulan awal masuk Ponpes Siber, para santri diceritakannya akan belajar seputar programming, khususnya bahasa program seperti JAVA, aplikasi website beserta unsur-unsurnya (PHP, Html, CSS, Javascript).
Setelah dirasa bisa belajar secara mandiri, para santri mulai diberikan tugas-tugas project sederhana seputar hal tersebut.
Para santri juga akan dikenalkan dengan pengetahuan-pengetahuan dasar seputar IT Security dan metode-metode sederhana untuk mengaplikasikan aspek-aspek tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka juga akan diajak memahami seputar networking dari konsep jaringan, hingga hal-hal berkaitan tentang Sys Admin serta dasar-dasar penetration test.
Ponpes Siber juga melatih santrinya agar mampu bersikap layaknya dalam dunia profesional. Mereka harus bisa membuat dan membawakan presentasi dengan waktu yang terbatas dan berada di bawah tekanan.
Biasanya akan ada simulasi ketika berhadapan dengan klien.
"Tak lupa setiap harinya ada kegiatan tilawah Al-Quran dan setoran hafalan guna menyeimbangkan antara ilmu duniawi, tanpa mengesampingkan ilmu agama," tuturnya.
Santri Prioritas
Kepala Sekolah Ponpes Siber, Aiman Alauddin Fadhlullah Al Fatih mengatakan, santri pendaftar di Ponpes Siber memang terbagi dua.
Pertama santri yang memang tertarik akan dunia IT, dan yang kedua santri diarahkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan bekal ilmu IT dan agama.
Aiman menceritakan, keinginan almarhum Iwan Sumantri mendirikan Ponpes. Saat itu, Iwan bertemu dengan pengamen yang ingin sekali menjadi ahli IT, tapi tidak punya biaya untuk sekolah.
Iwan yang akhirnya tergerak nekat mendirikan Ponpes mengandalkan tabungan pribadinya plus bantuan teman-teman sejawatnya. Ponpes Siber akhirnya berdiri sekitar tahun 2019.
Di awal geraknya, ponpes ini sanggup menyediakan asupan makanan tiga kali sehari kepada para santri yang mondok.
Ponpes ini memang memprioritaskan anak-anak yang memang tidak bisa kuliah, baik karena alasan tidak memiliki biaya maupun hal lainnya. Iwan dari awal sudah berpesan bahwa seharusnya ada ilmu yang diturunkan secara cuma-cuma.
"Memang MasyaAllah almarhum Pak Iwan itu. Pada saat itu pernah ada yang mendaftar tapi keadaannya ingin kuliah, maka terpaksa kami tolak," beber Aiman saat dihubungi Validnews, Jumat (9/12).
Karena dana alakadarnya, Ponpes Siber sempat terpaksa vakum saat Iwan meninggal dunia tahun 2021. Dana untuk membayar sewa asrama beserta operasionalnya tidak ada.
Aiman bahkan sempat tidak ingin membuka pendaftaran santri lagi karena memikirkan biaya. Namun berkat dorongan dan bantuan teman-temannya, Ponpes Siber dibuka lagi.
Hanya saja, pembelajarannya mengusung konsep online sejak Oktober 2021.
Aiman berubah pikiran karena merasa memiliki 'utang' kepada almarhum Iwan. Dia sempat berjanji, akan melanjutkan misi mulianya memberi pendidikan IT bagi anak tidak mampu kuliah.
"Saya bingung yang mendaftar online banyak sekali. Kemudian saya beri syarat administrasi. Dari sekitar 80 yang daftar, yang lolos sekitar 65 orang," ungkap Aiman.
Wakaf Ilmu
Walaupun sudah beralih penuh ke konsep online, Aiman tetap punya niat mengembalikan konsep pondok pesantren dengan asrama. Kalau itu masih sulit untuk dipenuhi, paling tidak Aiman berharap bisa membuatkan kurikulum untuk penetapan materi ajar.
"Tapi sejauh ini fokus pengajarannya sudah terbentuk, seperti programming, sys admin, server, networking, IT security dan soft skills, bahkan IOT security yang jarang ada bisa," imbuh Aiman.
Para pengajar di Ponpes Siber sendiri diberikan jadwal selama lima hari, dan diberikan hak untuk memilih jadwal yang kosong untuk mengajar lewat online.
Menariknya, mereka yang mengajar di Ponpes Siber online ini tidak digaji sama sekali. Konsep wakaf ilmu yang disampaikan oleh almarhum Iwan cukup dimengerti oleh para pengajar yang berprofesi sebagai dosen, sampai pejabat di kementerian.
"Rekan-rekan pengajar juga temannya almarhum Pak Iwan, jadi mereka memang mengerti konsep wakaf ilmu ini. Sejak awal saya sudah bilang soal konsep ini, mereka tetap antusias," jelas Aiman.
Selain wakaf ilmu, adapun turun temurun barang yang sudah diwakafkan bisa digunakan lagi kepada santri baru, seperti laptop. Barang-barang ini biasanya didapat dari pemberian pihak luar atau bahkan para pengajar.
Pakar dari lembaga riset siber, Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menilai, yang dilakukan Ponpes Siber adalah manifestasi peran serta masyarakat dalam meningkatkan edukasi keamanan siber.
"Karena kalau menunggu negara, pasti akan lebih lama pertumbuhan kesadaran siber, terutama karena faktor birokrasi dan belum adanya keberpihakan anggaran pada isu keamanan siber," tegas Pratama kepada Validnews, Minggu (11/12).
Konsep yang diusung Pondok Siber memang tak seperti pondok pesantren seutuhnya. Ponpes ini, kata dia, lebih lekat dengan konsep lembaga pelatihan yang dipadu dengan pembelajaran agama.
Namun Pratama menegaskan, apapun nama dan konsepnya, selama mau memberikan kesempatan masyarakat berkembang di wilayah siber, apalagi isu keamanan siber, hasilnya juga akan sangat baik dan bermanfaat ke depan.
Ponpes Siber ini juga dikatakan Pratama dapat membantu pemenuhan sumber daya manusia (SDM) untuk berbagai organisasi pemerintah, jika SDM jebolannya punya kapasitas yang mumpuni.
Kendati demikian, dia berpandangan konsep ini tidak perlu dipaksakan untuk ponpes yang sudah berdiri lama dan lebih fokus pada pembinaan kader-kader ulama.
Terlebih Pratama mengamati Ponpes Siber di Bandung ini fokus kepada keamanan siber yang tingkatnya intermediate menuju advance.
"Kalau untuk pengembangan ke ponpes lain yang sudah lebih dulu ada, bisa jadi belum ketemu antara kebutuhan dan kurikulumnya," sambung dia.
Di sisi lain, dia berharap negara mempersiapkan kurikulum keamanan siber secara umum di lembaga pendidikan Tanah Air.
Pratama menjelaskan, kurikulum kemanan siber yang mendasar, seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet perlu dibuat. Selain itu, panduan untuk berbelanja online yang aman dan mengamankan aset digital.
"Seperti media sosial dan email agar tidak diretas orang. Itu yang banyak terjadi saat ini, yang mendasar saja," tuturnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, Sururin mengatakan, pesantren saat ini memang harus bisa menyesuaikan diri.
Artinya, pesantren harus bisa mengikuti perkembangan zaman termasuk teknologi dan informasi.
"Prinsip pesantren kan mengambil sesuatu baru yang baik, tapi tetap mempertahankan yang lama, yang sudah bagus," ucap Sururin kepada Validnews, Senin (12/12).
Kalau semua pesantren mengacu pada prinsip itu, dia yakin ponpes ke depannya akan lebih maju karena bisa fleksibel dalam menerima perkembangan zaman, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ponpes, kata dia, memang harus mengambil peran dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kalau tidak, ponpes akan terus tertinggal dan menjadi objek yang terus disalahkan saat berbicara mutu pendidikan di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, diakui Sururin masih banyak pesantren yang terbelakang dalam konsep pembelajaran.
Contohnya, di salah satu kota dekat DKI Jakarta, ada salah satu kiai pesantren yang baru mau menerima ilmu pengetahuan dan pendidikan umum belum lama ini. Artinya, masih banyak di desa-desa ponpes yang masih alergi dengan ilmu pengetahuan.
"Nah pesantren seperti ini perlu banyak sentuhan perbaikan. Karena bisa jadi mungkin benar mereka menyumbang turunnya angka PISA, kalau dilihat dari indikator kemampuan literasi, baca dan tulis," paparnya.
Dia berharap, ke depannya ponpes-ponpes di Tanah Air mulai melakukan pembenahan dari konsep pembelajaran, termasuk pemetaaan kompetensi dasar apa yang harus dimiliki seorang santri. Sebab, konsep kolaborasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan harus diterapkan di ponpes.
"Kita tidak bisa menutup mata dengan perkembangan zaman. Tapi tetap sesuai prinsip pesantren," tandas Sururin.
sumber:validnews