CISSReC: Data Umum Bocor, Ini Potensi Bahayanya

Chairman lembaga riset siber Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan, ada banyak risiko tindak kejahatan dan penipuan yang bisa terjadi dari data-data penduduk Indonesia yang bocor, meskipun pemerintah menyebutnya sebagai data-data yang bersifat umum. Data-data yang bocor mulai dari nama, nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, tanggal lahir, hingga alamat.
Data yang bocor seperti data registrasi SIM Card menurutnya sangat rawan sekali jika digabungkan dengan data-data kebocoran yang lain yang pernah terjadi. Penggabungan data yang bocor tersebut bisa menjadi data profil lengkap yang bisa dijadikan data dasar dalam melakukan tindak kejahatan penipuan atau kriminal yang lain.
"Jelas ini sangat membahayakan para pemilik data. Data yang valid tersebut bisa digunakan sebagai bahan berbagai macam kejahatan. Misalkan dari yang paling ringan yaitu spam iklan, penawaran judi online, pinjol hingga bahan penipuan lewat telemarketing yang sekarang banyak terjadi atau sudah memenangkan hadiah dan mengharuskan mentransfer uang terlebih dahulu agar hadiah tersebut bisa cair," ungkap Pratama Persadha kepada Beritasatu.com, Sabtu (17/9/2022).
Modus lainnya, pelaku kejahatan bisa dengan berpura-pura dari bank BUMN lalu menginfokan bahwa tagihan kredit tanpa agunan (KTA) pemilik data jatuh tempo, lalu penipu meminta verifikasi data misalnya dengan meminta nama ibu kandung.
"Ini kan sangat berbahaya, karena diawal penipu sudah memiliki berbagai data kita, sehingga bisa meyakinkan kita bahwa mereka benar-benar dari pihak bank," kata Pratama.
Dari data yang bocor tersebut, pelaku kejahatan juga bisa mengambil alih dompet digital si pemilik data.
"Parahnya lagi, bisa di-takeover dompet digitalnya, karena dari nomor handphone kita bisa mengecek apakah mempunyai dompet digital OVO, Gopay, Dana, LinkAja, Shopeepay dan yang lainnya," ungkapnya.
Selanjutnya dari data tersebut bisa digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendaftar pinjol atau didaftarkan mengikuti organisasi teroris.
"Dengan data model ini, sudah ada beberapa kejadian penjebolan tabungan. Banyak terjadi di masyarakat setelah menerima telpon mengaku dari bank, tabungan mereka lenyap. Belum lagi nomor kita diperjualbelikan untuk marketing barang-barang tidak jelas, menyasar iklan lewat internet dan media sosial. Jadi ada banyak kemungkinan bentuk kejahatan dan penyalahgunaan data masyarakat," ungkap Pratama.
sumber:beritasatu.com